POPULER

Mendikbudristek Minta Kepala Daerah Mengangkat Guru Penggerak Menjadi Kepsek atau Pengawas

Yuk, Jalan-jalan di Kota Tomohon

Pejabat/ASN & Politik Praktis

Pabrik-pabrik Waruga di Tomohon Tempo Dulu

REPORTASE

waruga
Tempat pembuatan waruga di kompleks Perkebunan Pinati Kelurahan Kamasi Kecamatan Tomohon Tengah.

TOMOHON, TAMBORMINAHASA - Ingin tahu ‘pabrik’ pembuatan waruga penduduk Tomohon? Menurut Sejarawan dan Budayawan Sulut, Adrianus Kojongian, lokasinya berbeda-beda.

Di Tomohon ada ‘pabrik’ waruga yang berlokasi di Pinati, suatu perkebunan yang berada di Kelurahan Kamasi 1 Kecamatan Tomohon Tengah.

Di wilayah Kakaskasen disebut Kimoog, daerah di sebelah selatan Kelurahan Wailan Kecamatan Tomohon Utara.

Sedangkan, di bekas Balak Tombariri, tempat pembuatan waruga disebut Tatahaan untuk penduduk Katinggolan (kampung tua Woloan), kini Kecamatan Tomohon Barat.

Sementara si bekas wilayah Sarongsong bernama Apela. Sarongsong, kini masuk Kecamatan Tomohon Selatan.

“Lokasi-lokasi ‘pabrik’ waruga tidak berjauhan dengan bekas ibukota lama wilayah-wilayah itu,” tutur Adrianus saat ditemui, Rabu, 14 Februari 2018, di kediamannya yang berada di Lingkungan V Kelurahan Kamasi Kecamatan Tomohon Tengah.

“Sulit di bayangkan bagaimana batu-batu besar waruga  yang  beratnya berton-ton, dapat dibawa naik melewati jurang terjal yang cukup dalam,” ucapnya.

Lokasi tempat pembuatan waruga Pinati misalnya, Adrianus mengatakan, masih terdapat waruga yang tidak selesai dibuat atau diduga batal digunakan. Setidaknya masih tersisa sekitar dua puluh waruga utuh di lokasi Pinati yang areanya cukup luas dengan dominan tanah domato atau warga setempat menyebutnya Apela.

“Melihat dari besarnya, diperkirakan akan digunakan untuk ‘orang besar’ Tomohon tempo dulu. Kemungkinan besar, sisa waruga itu tidak selesai atau batal digunakan karena sulit membawa dari kedalaman jurang. Sangat menguras waktu, tenaga serta biaya besar,” jelasnya.

Kemungkinan lain, Adrianus melanjutkan, karena saat itu penguburan waruga mulai ditinggalkan. Penduduk Tomohon dianjurkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk menggunakan peti mati sebagai pengganti waruga, seperti yang kita lihat di zaman sekarang ini.

Kepala Wilayah Tomohon terakhir yang menggunakan waruga adalah Mayor Ngantung Palar yang meninggal tahun 1853. Sementara Lukas Wenas ketika meninggal menggunakan peti biasa. Demikian pula Kepala Balak Wilayah Sarongsong Mayoor Herman Carl Waworuntu dan anaknya Mayoor Zacharias Waworuntu tidak menggunakan waruga.

Kebanyakan para tokoh yang merasa ajalnya hampir tiba, Adrianus menceritakan, mereka akan mempersiapkan wadah kuburnya sendiri dengan tidak lupa memberi ukiran-ukiran Bahkan para tokoh ataupun keluarga yang paham Bahasa Melayu akan menaruh nama dan jabatannya. Meski jarang tersisa saat ini, karena sudah langka, baik rusak oleh waktu, gempa dan tertimbun di dalam tanah bekas negeri-negeri lama Tomohon. Banyak waruga bernama serta lukisan adalah hasil pemugaraan, yang terjadi di masa pemerintahan Gubernur Sulut, H.V Worang.

waruga
Tempat pembuatan waruga di kompleks Perkebunan Pinati Kelurahan Kamasi Kecamatan Tomohon Tengah. 

Di Tomohon saat ini, Adrianus menuturkan, hanya ada dua waruga tua yang  mencatat nama si yang meninggal pada penutup waruganya, yakni di bekas Kota Tua Tombariri, Katinggolan, sekarang wilayah Kelurahan Woloan I Utara Kecamatan Tomohon Barat. Waruga Pacat Supit Sahiri  Macex, bekas Hoofd Hoecums Majoor  Kepala dan Kepala  Balak Tombariri yang waruganya dipindahkan tahun 1845, kini berada di depan gedung GMIM ‘Eben Haezar’ Woloan II.

“Tulisan di waruga ini cukup unik, yakni: Coubur:Der:HocomMajo:r:Soupit:Ter:D:B:M:S:1738. Tulisan di waruga Supit ini merupakan prasasti paling tua yang pernah ada di Tanah Minahasa saat ini,” jelasnya.

Masyarakat tempo dulu ketika membuat waruga, menurut Adrianus, hanya menggunakan alat seadanya, yakni kapak yang dalam bahasa Tombulu disebut Pati atau Tamako. Hebatnya Pati itu dibuat dari batu.

Tak kalah menakjubkan lagi, Adrianus melanjutkan, setelah selesai membuat waruga, penutup dan badan waruga dipikul menaiki jurang terjal dan dibawa ke lokasi si meninggal akan dimakamkan.

“Ketika membawa waruga tersebut rata-rata mereka tidak menggunakan alat bantu. Hanya menggunakan otot dan kekekaran tubuh semata,” kisahnya.

Lebih membuat terkesima, Adrianus mengatakan, adalah medan yang akan dilalui para pengangkut waruga, mendaki dan terjal.

Di lokasi ‘pabrik’ waruga Pinati, Adrianus mengungkapkan, masih terlihat bekas-bekas tangga yang pernah digunakan warga Tomohon tempo dulu untuk turun membuat dan membawa naik waruga.

Nama Pinati, Adrianus menjelaskan, masih ada sangkut paut dengan alat yang digunakan membuat waruga, Pati, dalam Bahasa Tombulu, waruga saat dibuat “pi na pati maan” (cuman menggunakan kapak). Versi lain Pinati (Pati), bermakna air sedingin mata kapak.

“Sebab mataair di tempat itu sangat dingin,” katanya tersenyum.

Kisah lain, Adrianus menceritakan, Pinati berhubungan erat dengan kisah berdirinya nama Kakaskasen. Tonaas yang bernama Makiohloz (Kiohlor atau Ohlor) ketika menebang pohon di Kakaskasen yang masih lebat, bingung mencari mata kapak yang lepas, ia menggaruk-garuk lalu muncullah mataair yang kemudian bernama Kinaskas, karena di garuk.

“Didongengkan jatuhnya kapak sang Tonaas itu ke tempat yang kemudian dinamai Pinati yang lokasinya berada Kamasi, sebelah selatan Kakaskasen,” kisah Adrianus yang juga merupakan wartawan senior di Sulawesi Utara.

Berita ini telah tayang di: https://publikreport.com/blog/2018/02/14/pabrik-pabrik-waruga-di-tomohon-tempo-dulu/

Komentar

Populer

Mendikbudristek Minta Kepala Daerah Mengangkat Guru Penggerak Menjadi Kepsek atau Pengawas

Yuk, Jalan-jalan di Kota Tomohon

Pejabat/ASN & Politik Praktis

Gubernur dan Wakil Gubernur Sulut dari Masa ke Masa

Mari Pesiar ke Tomohon

Kisah Kit Sang, DPRD Tingkat III di Tomohon

Setiap Pemilu Mereka Mengatasnamakan Rakyat